Lampung — Penyelesaian non yudisial kasus pelanggaran Hak azasi manusia (HAM) yang berat hingga saat ini masih terkatung katung dan belum ada realisasi yang berarti.
” Walaupun Presiden Jokowi telah mengeluarkan 2 keputusan, Keppres No 17 tahun 2022 dan Inpres No. 2 Tahun 2023, tentang rekomendasi penyelesaian non yudisial kasus pelanggaran HAM berat. namun, hingga saat ini belum ada realisasi apapun” kata Edi Arsadad, Ketua Paguyuban keluarga dan korban Talangsari Lampung (PK2TL), Rabu 27/9/23 di Bandar Lampung.
Menurut Edi Arsadad, Isu penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu hanya dijadikan komoditas politik menjelang pemilu atau Pemilihan presiden (Pilpres).
Edi meragukan keseriusan pemerintahan Joko Widodo untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat.
” Isu ini muncul disaat jelang tahun politik, dan saya meragukan Presiden bisa menyelesaikan kasus ini hingga akhir masa jabatannya yang tinggal beberapa bulan lagi” ungkap Edi.
Walaupun pesimis dengan komitmen Presiden Jokowi, Edi Arsadad tetap menuntut agar kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dapat diselesaikan melalui yudisial.
“Kami tetap meminta pemerintah menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu diselesaikan melalui pengadilan HAM” pungkasnya.
Diketahui bahwa, Rabu (11/1), Presiden Jokowi mengakui ada 12 kasus pelanggaran HAM berat terjadi di Tanah Air. Jokowi berjanji memulihkan hak-hak para korban secara adil dan bijaksana tanpa menegasikan penyelesaian yudisial.
Kasus tersebut yaitu, Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari 1989, Peristiwa Trisakti Peristiwa Semanggi I dan II, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998.
Selain itu, Peristiwa Wasior Wamena, Peristiwa Pembantaian Dukun Santet di Banyuwangi 1998, Peristiwa Simpang KAA 1999, Peristiwa Jambu Keupok 2003, Peristiwa Rumah Geudang 1989-1998, Kasus Paniai 2014.
Red